Laman

Sabtu, 27 November 2010

Kehidupan Baru untuk Korban Bencana Alam

Seperti kita ketahui akhir-akhir ini banyak sekali bencana yang menimpa negeri kita tercinta. Ada banjir bandang di Wasior, tsunami di Mentawai, dan juga meletusnya gunung Merapi yang memakan banyak korban jiwa serta menghancurkan banyak rumah warga dan fasilitas umum. Beberapa faktor penyebab terjadinya bencana-bencana tersebut adalah rusaknya alat pendeteksi pemantau bencana, human error, juga faktor alam.
Dikutip dari tempointerkatif.com gunung merapi mengalami uninterrupted eruption atau erupsi tak terputus pada tahun 2010 ini. Erupsi yang bersifat ekspolif 26 Oktober lalu mengalami jeda, tetapi mulai rabu (3/11) erupsi terjadi terus-menerus hingga sabtu (6/11).

Erupsi mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang cukup menyulitkan para relawan untuk melakukan evakuasi terhadap jenazah yang tertimbun abu vulkanik merapi. Tidak hanya itu pengevakuasian terhadap korban di Mentawai pun terhambat karena sulitnya menjangkau daerah yang diluluhlantahkan oleh tsunami tersebut.
Data yang kami dapat menyatakan bahwa dari bencana-bencana tersebut penanganan akan korban-korban jiwa sangatlah lambat. Hal ini dikarenakan keterbatasannya alat bantu dan tim evakuasi. Keterbatasan-keterbatasan ini juga dipicu dari kurangya perhatian dari pemerintah yang bersangkutan.

Menurut kami, ketika status waspada diinformasikan. Antisipasi pertama seharusnya dilakukan sejak awal diumumkannya batas aman. Batas aman yang ditentukan seharusnya sejauh mungkin dari puncak gunung Merapi. Penanganan yang baik adalah penanganan yang tanggap darurat. Maksudnya, baik pemerintah setempat, tim evakuasi dan alat pemantau berjalan beriringan dengan baik sehingga jatuhnya korban jiwa dapat diminimalisir. Penanganan juga dilakukan di tempat pengungsian para korban bencana merapi contoh penanganannya adalah dengan menyediakan pengungsian yang layak seperti tersedianya MCK, selimut, makanan yang bergizi, baju layak pakai, pembalut, pakaian dalam, popok untuk anak-anak dan dewasa dan susu untuk bayi, obat- obatan dan tersedianya penanganan secara medis bagi korban merapi. Tempat pengungsian yang layak menurut kelompok kami adalah jika wanita dan anak – anak di bedakan dengan laki – laki dewasa agar tidak terjadi hal – hal yang tidak di inginkan misalnya pelecehan seksual terhadap wanita dan anak – anak. Penanganan secara psikologis juga sangat diperlukan bagi para korban bencana merapi. Fungsi penanganan secara psikologis adalah untuk memberikan motivasi kepada mereka bahwa hidup harus terus berjalan, fungsi selanjutnya adalah berguna untuk menghilangkan trauma mendalam terutama pada anak – anak dan wanita. Contoh penanganan untuk anak –anak seperti mengajak bermain agar mereka merasa terhibur. Penanganan untuk orang dewasa seperti mendengarkan keluh kesah mereka, bersikap empati (mengerti dan memahami keadaan mereka).

Pengertian relokasi menurut kami terbagi menjadi dua yaitu pembangunan kembali di daerah atau tempat tinggal asal dengan catatan bahwa tempat tinggal tersebut dinyatakan aman kembali dan pemindahan di tempat tinggal yang baru dengan melihat bagaimana masyarakat Merapi, Mentawai dan Wasior mampu beradaptasi dengan situasi yang baru dan kelayakan kehidupan (pekerjaan dan pendidikan).

“Pemerintah akan mengalami kesulitan untuk memindahkan seluruh mayarakat di lereng Merapi karena ada keterikatan emosional yang kuat diantara mereka dengan gunung merapi. Bagaimana caranya memindahkan orang yang sudah turun menurun tinggal didaerah tersebut. Mereka akan mencari makan di lereng Merapi. Perlu kearifan lokal dan harus melibatkan tokoh masyarakat jika pemerintah terus memaksakan kehendaknya untuk melakukan relokasi terhadap masyarakat di Lereng Merapi. Selain tindakan tegas pemerintah juga harus melibatkan tokoh yang disegani di masyarajkat di sekitar lereng merapi agar mereka mau dipindahkan. Dan pemerintah juga harus memberikan kompensasi yang jelas tidak mengubar janji terus menerus” tutur Ketua Umum DPP LDII, Prof.Dr.KH Abdullah Syam yang dikutip dalam republika.co.id.

Dari kutipan diatas kami menyimpulkan bahwa untuk pengrelokasian korban Mentawai dilakukan di daerah pantai namun, dengan jarak yang tidak terlalu dekat dengan bibir pantai karena kehidupan mereka yang sebagian besar adalah bermata pencaharian sebagai nelayan dengan menyediakan fasilitas atau peralatan yang biasa mereka gunakan. Sedangkan untuk pengrelokasian terhadap korban merapi yaitu tetap membangun pemukiman di tempat tinggal awal karena mereka memiliki suatu kebiasaan atau adat istiadat serta keterikatan psikologis yang tidak dapat dipisahkan dari merapi. Pemukiman yang di bangun semestinya sesuai dengan keadaan dan kondisi mereka. Pengrelokasian ini juga hendakya memperhatikan keberfungsian alat pemantau bencana agar setidaknya mengurangi jatuhnya korban jiwa. Pembangunan kepercayaan diri serta motivasi juga sangat diperlukan agar mereka mau bangkit untuk melanjutkan hidup.








Nama Kelompok :

  • Aryanti ( 10508250 )
  • Irma Retno Juwika ( 10508113 )
  • Nani Yuliani ( 10508149 )
  • Regian Amanah R ( 10508256 )
  • Siti Lini Falihah ( 10508212 )
  •